Di bawah fly over Pasar Rebo dan disertai bisingnya suara jalanan Mbak Ari menceritakan kepada praktikan mengenai keadaan yang ada di lokalisasi Boker, Ciracas. Disana merupakan tempat segala macam transaksi kemaksiatan berlangsung. Jika hari sudah menjelang malam, tempat tersebut ramai seketika. Ada yang main kartu, minum bir hingga mabuk, transaksi pelacuran bahkan ada transaksi obat terlarang. Sungguh ironis, karena tempat tersebut berada di antara dua masjid. Masjid yang merupakan tempat ibadah, tempat yang suci, dikotori oleh perbuatan nista macam itu. Dulu, di belakang masjid ada dibangun beberapa bilik sebagai kamar untuk WPS melayani tamu mereka, tapi sekarang bilik tersebut sudah digusur oleh pihak Kecamatan Ciracas. Tetapi tetap saja bilik tersebut dibangun kembali walau tidak pas di belakang masjid. Bahkan ada beberapa yang menyewakan rumahnya ke WPS untuk melayani tamu mereka. (is…is..is..geleng-geleng kepala)
Ketika digusur banyak WPS yang pada akhhirnya lari ke Pasar Induk Kramat Jati untuk mangkal. Mereka mangkal di depan Pasar Induk Kramat Jati dekat warung-warung yang menjual jamu. Benar saja, tak lama mereka mangkal disitu, warung tersebut berubah menjadi tempat pijat dengan menggelar tiker begitu saja. Padahal, itu merupakan kedok dari prostitusi itu sendiri. Ternyata, ada juga WaPS lain bukan wanita pekerja seks melainkan waria pekerja seks di Boker. Tetapi, komunitas mereka tidak diterima oleh WPS di Boker. Mereka seringkali menerima hinaan dan dilempari tomat atau apapun oleh WPS. Meras dirinya tidak diterima, akhirnya WaPS pun seringkali pindah dan pergi ke Pasar Induk Kramat Jati ataupun di atas fly over Pasar Rebo.
Sebelum turun ke lapangan langsung menemui kelompok dampingan baik itu di lokalisasi maupun di tempat lain, para petugas lapangan melakukan penjalinan relasi dulu ke pejabat daerah atau yang disebut engangement (namun, petugas lapangan tidak menyebut istilah engangement, tetapi menyebut dengan istilah “kulo nuwun” atau minta izin dulu). Pertama, disambangi terlebih dahulu rumah ketua pak RT ataupun pak RW untuk mengutarakan maksud kedatangan dan kepentingan datang ke lokalisasi tersebut. Lalu ke tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai power untuk mempengaruhi masyarakat.
Tak terasa oleh perbincangan yang seru tersebut, Mbak Ine yang ditunggu pun telah hadir di tengah-tengah kami. Kami pun memutuskan untuk pergi ke kecamatan Kramat Jati dan Ciracas bersama-sama karena awalnya sempat terpikir untuk dipecah saja. Praktikan bersama kedua PL dan teman pergi ke Kantor Camat Kramat Jati untuk meminta data kependudukan dan tempat hiburan. Sesampainya disana, Mbak Ari memberikan surat pengatar dari PKBI, lalu diminta menunggu. Ternyata, data yang diinginkan belum bisa diambil hari itu juga. Kami pun memutuskan untuk lanjut ke Kecamatan Ciracas. Tetapi sebelumnya mencatat struktur pemerintahan di wilayah Kecamatan Kramat Jati (bisa dilihat di lampiran).
Perlu naik angkot 2 kali untuk sampai ke Kecamatan Ciracas dari Kramat Jati. Sama seperti yang dilakukan oleh Mbak Ari, Mbak Ine memberikan surat pengantar dari PKBI dan minta untuk bertemu dengan Pak Sekretaris Camat untuk meminta data tersebut. Kami semua pun menunggu kembali, karena Pak SekCam sedang ke luar sebentar. Tak lama, kami pun dipanggil untuk menemui Pak SekCam, lalu kami memperkenalkan diri. Mbak Ari lebih banyak berbicara pada percakapan dengan Pak SekCam kali ini. Awalnya, Mbak Ari menyatakan keperluannya dan tujuan serta program BCC. Terlihat sambutan Pak SekCam yang ramah dengan mengajak ngobrol kami, bercerita tentang latar belakang dirinya yang merupakan orang Betawi dan ketika pertama kali beliau bekerja. Beliau juga banyak bertanya tentang BCC dan HIV/AIDS.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 12 siang, kami pun rehat sebentar dengan makan siang. Seusai makan siang, praktikan dan yang lain menuju ke Boker. Praktikan tiba di Boker pukul 1 siang, cuaca sangat panas saat itu. Ah ternyata Boker itu dekat sekali dari kampus tercinta ini, hanya satu kali naik angkot saja yaitu T112 jurusan kampung rambutan. Patokannya ada Sport Center yang sedang dibangun. Praktikan selalu melewati tempat itu jika pergi ke tempat praktikum.
Ada sebuah jalan yang cukup besar diantara Sport Center dan Masjid besar yang baru saja dibangun. Praktikan dan yang lain menyusuri jalan tersebut, lalu kami belok kiri. Yah disitu kami bertemu dengan Mbak Sari dan beberapa orang lain yang sedang duduk-duduk dibawah tenda. Ternyata eh ternyata, Mbak Sari dan orang-orang itu adalah WPS. Is..is..is.. Melihat penampilan Mbak Sari dengan dandanan menor walaupun dengan baju yang biasa saja, bukan hanya itu seperti nya usia Mbak Sari tidak lagi muda. Benar saja, Mbak Ine memberitahukan bahwa Mbak Sari berusia 50 tahun. ckckckck… Dia juga mempunyai dua anak kalo tidak salah. Tetapi tidak jelas ayahnya siapa. Memang jika dilihat dari penampilan fisik rata-rata, WPS yang ditemui sudah berusia paruh baya. Mbak Ine menjelaskan bahwa WPS yang sudah “tua” biasanya mangkal di siang hari karena kalau mereka mangkal di malam hari, mereka akan kalah saing dengan yang masih muda.
Lalu kami ingin shalat dzuhur di masjid belakang, dan harus melewati pusat lokalisasi tersebut. Tak jauh beda seperti yang praktikan bayangkan ketika mendengar cerita Mbak Ari tadi. Lokalisasi disana seperti layaknya pemukiman warga yang biasa saja, agak terkesan kumuh memang, tapi tidak terlalu. Rumah-rumah warga berdekatan dan merapat. Ada yang berbentuk seperti rumah biasa, ada juga yang rumah tapi disebelahnya ada semacam bilik, dan ada juga bilik-bilik yang dibangun dari triplek. Bilik tersebut merupakan tempat WPS bekerja melayani tamu-tamu mereka. Terkesan seperti pemukiman kelas menengah bawah. Kliennya pun bermacam-macam, mulai dari kuli bangunan hingga pejabat pun ada yang datang ke Boker.
Kembali lagi, ketika kami melewati pusat itu, ada beberapa WPS dan laki-laki yang sedang duduk-duduk di bawah pohon rindang. Satu WPS ada yang sedang memijat laki-laki. WPS tersebut melihat kehadiran kami yang berkerudung semua, hanya Mbak Ine yang tidak berkerudung. Dia pun terlihat merasa risih dengan kehadiran kami, lalu dia berhenti memijat dan pergi. Hehehehe.. (dikira ibu-ibu pengajian kali).
Kami pun shalat, seusai shalat Mbak Ine bercerita bahwa kalau ada pengajian di masjid para WPS tidak melakukan operasi, kalau sampai WPS tetap beroperasi maka akan terjadi keributan antar warga karena tidak menghormati pengajian yang sedang dilakukan. Yang paling mengenaskan adalah pelataran masjid pun terkadang digunakan WPS untuk melayani tamunya. Sungguh, mereka tidak menghormati tempat ibadah.
Dari pengalaman di atas..aku bersyukur sekali atas rahmat, rezeki dan karunia yang diberikannya kepadaku..
Aku masih bisa berdiri tegak sampai hari ini tanpa menjual apapun dari diriku..Masih bisa mengenyam ilmu di kampus nomor satu ini..
Bersyukurlah..
“Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan”
(Q.S Ar-Rahman:13)
Leave a comment